Di ujung senja, saat mentari menjatuhkan jingga-jingga lembutnya, Rendra duduk di balkon, memandang ke arah kota yang mulai meredup. Setiap malam, dia selalu duduk di sini, di tempat yang dulu menjadi saksi bisu kebahagiaan mereka.
Kenangan tentang Anya, kekasihnya, menerpa bagaikan ombak di lautan yang tak berujung. Senyum Anya, tawa Anya, sentuhan lembut tangannya, semua terasa begitu nyata.
Rendra mencoba untuk membenci Anya, melupakan gadis yang telah memutuskan untuk pergi itu. Dia mencoba untuk marah, kecewa, dendam. Dia memaksa dirinya untuk mengingat semua kesalahan Anya, semua kekurangannya, berharap itu bisa melunturkan rasa cinta yang masih bercokol di hatinya.
Namun, tak ada yang berhasil. Setiap kali Rendra mencoba untuk membenci Anya, bayangannya justru semakin kuat, semakin nyata. Rindu yang tak kunjung padam justru semakin menyala, membakarnya dari dalam.
"Kenapa kamu selalu ada di pikiranku?" gumam Rendra, suaranya terdengar lirih. "Kenapa aku tak bisa melupakanmu?"
Rendra menghela napas, kepalanya tertunduk, matanya menatap ke arah lantai. Rasa sakit yang tak terlukiskan menghujam dadanya, seakan menggerogoti jiwanya.
Di malam hari, Rendra mencoba untuk menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Dia menghabiskan waktu di kantor, berusaha untuk melupakan Anya dengan bekerja keras.
Namun, tak peduli sekeras apa dia mencoba, wajah Anya tetap terbayang di setiap lembar dokumen yang dia baca, di setiap kode program yang dia kerjakan.
Saat malam tiba, Rendra pulang ke rumah, kembali ke balkon yang menjadi saksi bisu kisah cintanya. Di balkon itu, dia kembali meratapi kepergian Anya, kembali merindukan sentuhan lembutnya, kembali merasakan sakit yang tak kunjung sembuh.
"Kapan aku bisa melupakanmu?" bisik Rendra, matanya menatap ke arah langit yang dihiasi bintang-bintang yang tak berkedip.
Malam demi malam, Rendra terus bergulat dengan perasaannya. Dia ingin membenci, ingin melupakan, tapi hati dan jiwanya menolak untuk melepaskan Anya. Rendra terjebak dalam lingkaran setan, tersiksa oleh rindu yang tak kunjung padam.
Di suatu malam, saat Rendra kembali duduk di balkon, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Tetesan air hujan membasahi wajahnya, membasuh jiwa yang kering kerontang.
Rendra terdiam, merasakan air hujan mengalir di pipinya, seakan meneteskan semua rasa sakit yang selama ini dia pendam. Di tengah hujan, Rendra menyadari satu hal: membenci Anya tak akan pernah membuatnya bahagia, melupakan Anya tak akan pernah menghilangkan rasa sakit yang dia rasakan.
Rendra memutuskan untuk menerima kenyataan. Dia menerima bahwa dia masih mencintai Anya, bahwa dia masih merindukannya. Dia berjanji akan terus mencintai Anya, meski Anya tak lagi bersamanya.
Rendra berjanji untuk menyimpan semua kenangan indah tentang Anya di dalam hatinya, sebagai bukti bahwa dia pernah merasakan cinta yang begitu dalam, cinta yang tak akan pernah bisa dilupakan.
Di tengah rintikan hujan yang semakin deras, Rendra tersenyum, air mata mengalir di pipinya, bukan lagi air mata kesedihan, tapi air mata kelegaan. Dia akhirnya bisa menerima dirinya sendiri, menerima bahwa dia masih mencintai Anya, dan itu tak apa-apa.
0 comments:
Post a Comment