Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sistem pembelajaran
panggung pentas (delivery system) menjadi
sistem pembelajaran yang biasa digunakan Guru dalam KBM (Kegiatan Belajar
Mengajar) Fisika. Pada sistem pembelajaran ini Guru berdiri di depan siswa
untuk menyampaikan pengetahuan, sementara siswa menerimanya tanpa harus
mengetahui prosesnya. Siswa dipaksa menerima ilmu, bukan memahami budaya ilmu,
sehingga kehilangan orientasi hidupnya karena mereka tidak dituntun membaca
fenomena sekelilingnya
.
Sebagai akibat pendekatan pembelajaran yang cenderung linear indoktrinatif, siswa bukan cuma
menjauh tetapi juga tidak mampu menghadapi kehidupan nyata, gagap terhadap
masalahnya sendiri, apalagi dengan lingkungan dan masyarakatnya. Dalam
pandangan lainnya pendidikan sekarang ini cenderung hanya mencecar otak kiri
saja, kurang membangun individu belajar, serta tidak menumbuhkan kemandirian.
Analisa, demikian tentu bukan tanpa fakta, sebab dalam
praktiknya masih ditemukan suasana proses belajar mengajar yang membenarkan
sinyalemen di atas. Yang paling menonjol adalah tradisi belajar hanya
mengandalkan siswa sebagai "penghapal ilmu" bukan "pemaham
ilmu" serta sarat kegiatan "drill"
(latihan soal) dengan maksud mengejar nilai rapor atau nilai ujian yang
tinggi. Padahal menurut Ausuble,
pendidikan hapalan dan drill adalah
pendidikan yang tidak bermakna. Pendidikan cara ini sangat membelenggu siswa
dan tidak manusiawi, bisa menyebabkan siswa berpikir linear dan tidak kreatif
Fisika dikenal sebagai suatu bidang yang harus
dipelajari di sekolah. Memang disadari kalau Fisika sangat penting bagi
kehidupan sehari-hari. Kemajuan Fisika akan berdampak bagi kemajuan
transformasi masyarakat yang juga berhubungan dengan ekonomi dan sosial suatu
bangsa. Namun kenyataannya, belajar Fisika sebagai sesuatu yang membosankan.
karena harus menghapal rumus-rumus yang panjang sedangkan siswa belum tahu
kegunaanya untuk apa.
Memang, kegiatan pembelajaran Fisika beberapa daerah
(bahkan beberapa negara) hanya mengajarkan asumsi-asumsi saja yang akhirnya
melahirkan siswa yang tidak memiliki pemahaman dan pengertian tentang manfaat Fisika
bagi kehidupannya. Siswa hanya menghapal rumus, istilah-istilah tanpa tahu guna
dan aplikasinya di lingkungannya. Ruang belajar pun menjadi sempit karena hanya
terbatas pada ruang kelas. Siswa dicetak mampu mengukur laju kecepatan pesawat,
bahkan mampu memprediksi kapan pesawat tersebut akan jatuh, tapi itu hanya di
dalam ruang kelas, karena ketika melihat pesawat, hilang dan lupa semua rumus
yang pernah dihapalkannya di luar kepala.
Sehingga perlu ada sebuah pembelajaran Fisika berbasis
budaya dimana siswa didorong untuk dapat memecahkan masalah yang ada di
lingkungan sekitarnya, sebagai titik awal proses penciptaan makna
Pengertian Budaya
Hasil kajian Alfred Kröber dan
Clyde Kluckhohn yang dilaksanakan pada tahun 1952, seperti tertulis dalam buku ”Culture:
A CriticalReview of Concepts and Definitions“, menunjukkan lebih dari 200
(dua ratus) definisi mengenai budaya.
Menurut Gertz (1973) budaya adalah suatu sistem atau
tatanan tentang simbol dan arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu
masyarakat
Menurut Habiebie (2006) Budaya dalam arti yang luas adalah suatu
keadaan akibat perilaku manusia yang secara perorangan atau kelompok
Arkeolog R. Soekmono mengatakan
kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya
berupa buah pikiran dan alam penghidupan
Antropolog Koentjaraningrat
berpendapat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.
Kebudayaan sendiri memiliki tujuh
unsur yang bersifat universal Unsur-unsur tersebut ada dan terdapat di dalam
semua kebudayaan dari semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur tersebut adalah
bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, dan kesenian.
Kebudayaan memiliki arti penting bagi suatu bangsa.
Kebudayaan merupakan jati diri nasional atau sarana pemersatu. kebudayaan
dinilai berperan jika memiliki hasil budaya yang khas. Hasil budaya bukan hanya
milik suatu bangsa, tapi sudah dianggap milik bersama, yakni masyarakat dunia.
Pada prinsipnya hasil budaya suatu
bangsa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yakni yang dapat diraba
dan tidak dapat diraba. Hasil budaya yang dapat diraba, misalnya candi, istana,
dan berbagai benda yang mempunyai wujud fisik. Hasil budaya yang tidak dapat
diraba teramati oleh penglihatan. Seni pertunjukan dan adat-istiadat suatu suku
bangsa adalah sebagian dari hasil budaya yang tidak teraba itu.
Pembelajaran Sebagai Suatu Sistem
Pembelajaran mempunyai sejumlah komponen yang saling berinteraksi untuk
mmencapai suatu tujuan. Komponen sistem Pembelajaran meliputi bahan pelajaran,
metode, alat dan evaluasi. Keseluruhan komponen itu saling berinteraksi dan
berhubungan untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mengetahui kadar pencapaian
suatu tujuan. Oleh karena itu dalam menganalisis sistem pembelajaran dihadapkan
kepada pertanyaan sebagai berikut:
1.
Tujuan apa yang hendak dicapai ?
2.
Bahan pelajaran apa yang dipelajari siswa agar
dapat mencapai suatu tujuan ?
3.
Metode mengajar apa yang efektif untuk
mengantar siswa mencapai tujuan?
4.
Alat Pelajaran apa yang Relevan untuk membantu
proses pencapaian suatu tujuan?
5.
Bagaimana melakukan Evaluasi untuk menilai
keberhasilan suatu tujuan?
1. Aspek Budaya Pada Pembelajaran Fisika
Untuk mempelajari proses pembelajaran Fisika di sekolah,
selain memakai teori psikologi yang berakar pada kontruktivisme individu
(personal constructivism) dan perspektif sosiologi yang bertumpu pada
konstruktivisme sosial (social constructivism), para peneliti dan ahli
pendidikan saat ini mencoba untuk menggunakan kajian teori antropologi
(anthropological perpective). Yang terakhir ini mencoba melihat proses
pembelajaran sains di sekolah pada setting budaya masyarakat sekitar (Maddock,
1981; Cobern dan Aikenhead, 1998). Menurut perspektif anthropologi,
pengajaran sains dianggap sebagai transmisi budaya (cultural transmission) dan
pembelajaran sains sebagai penguasaan budaya (cultural acquisition).
Sehingga proses KBM (kegiatan belajar mengajar) di kelas dapat diibaratkan
sebagai proses pemindahan dan perolehan budaya dari guru dan murid. Untuk pembatasan, kata budaya
(culture) yang dimaksud di sini adalah suatu sistem atau tatanan tentang simbol
dan arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu masyarakat(Gertz,
1973). Berdasar batasan ini, maka sains dapat dianggap sebagai subbudaya
kebudayaan barat, dan sains dari barat (Western science) merupakan subbudaya
dari sains. Oleh karena itu, tradisional sains (ethnoscience) dari suatu
komunitas di negeri non Barat adalah subbudaya dari kebudayaan komunitas
tersebut.
Secara khusus Okebukola (1986) yang dikutip oleh wahyudi
menyatakan bahwa latar belakang budaya siswa mempunyai efek yang lebih besar di
dalam proses pendidikan IPA yang disumbangkan oleh pemberian materi
pelajaran. Dengan kata lain, efek dari proses KBM yang dilakukan di kelas
oleh guru dan siswa ‘kalah’ oleh efek budaya masyarakat yang telah diserap oleh
siswa dan dibawa ke dalam proses KBM di kelas.
Lebih lanjut
Eyford (1993) juga menegaskan bahwa latar belakang budaya siswa mempunyai
pengaruh yang kuat pada cara seseorang (siswa) belajar. Ia memberikan
alasannya bahwa siswa telah menghabiskan waktunya, terutama enam tahun pertama
sebelum masuk ke sekolah dasar, di tengah-tengah lingkungan yang secara total
lebih dibentuk/dipengaruhi oleh budaya masyarakatnya dari pada oleh teori-teori
pendidikan formal. Kemudian dua tahun berikutnya, Ogunniyi, Jegede,
Ogawa, Yandila dan Oladede (1995) menyatakan bahwa latar belakang budaya yang
dibawa oleh guru dan siswa ke dalam kelas sangat menentukan di dalam penciptaan
atau pengkodisian suasana belajar dan mengajar yang bermakna dan
berkonteks.
Pada tahun yang
sama, Baker dan Taylor
(1995) menyampaikan hasil review mereka khusus tentang pengaruh kebudayaan pada
proses pembelajaran sains di kelas/sekolah. Dua kesimpulan penting dari
review mereka adalah sebagai berikut. Pertama, kegagalan negara-negara
non-Barat dalam rangka menasionalisasikan kurikulum sains di
sekolah-sekolah. Kegagalan tersebut dikarenakan mereka hanya mengimpor
kurikulum sains dari negara-negara Barat tanpa mempertimbangkan latar belakang
kebudayaan yang tumbuh di negaranya. Secara rinci keduanya menengarai
kegagalan proses pembelajaran sains di sekolah-sekolah negara non-Barat adalah
karena ketidaksesuaian (mismatch) antara budaya yang dimiliki siswa seperti
bahasa, kepercayaan, cara pandang terhadap alam sekitar, dengan ‘kebudayaan’
sains dari Barat yang terkandung di dalam setiap mata pelajaran sains.
Kedua, mereka menyimpulkan bahwa latar belakang budaya setiap siswa
mempengaruhi cara siswa tersebut dalam mempelajari dan menguasai konsep-konsep sains
yang diajarkan di sekolah. Secara khusus dinyatakan bahwa perasaan dan
pemahaman siswa yang berlandaskan kebudayaan di masyarakatnya ikut serta
berperan dalam menginterpretasikan dan menyerap pengetahuan yang baru
(konsep-konsep sains).
Setahun sebelumnya, Cobern (1994) menjelaskan
pendapatnya secara persuasif bahwa cara seseorang memahami; hubungan seseorang
dengan dunianya (lingkungannya); dan juga cara pandang seseorang terhadap
hubungan sebab akibat, ruang, dan waktu adalah sangat dipengaruhi oleh
asal-usul budayanya. Bisa ditafsirkan di sini dalam konteks kebudayaan Indonesia yang majemuk, siswa-siswa di pedalaman
Kalimantan mempunyai cara berpikir (way of knowing) yang berbeda dengan
siswa-siswa di kota Banjarmasin,
ataupun dengan siswa-siswa di Yogyakarta.
Selanjutnya, Cobern (1994) menegaskan bahwa transfer pengetahuan (proses
pembelajaran) apapun bentuknya, harus mempertimbangkan latar belakang budaya
siswa.
Pengaruh latar belakang budaya yang dimiliki siswa
terhadap proses pembelajaran Fisika ada dua macam. Pertama, pengaruh
positif akan muncul jika materi pada pembelajaran Fisika di sekolah yang sedang
dipelajari selaras dengan pengetahuan (budaya) siswa sehari-hari. Pada
keadaan ini proses pembelajaran mendukung cara pandang siswa terhadap alam
sekitarnya. Proses pembelajaran yang seperti ini disebut dengan proses
inkulturasi (enculturation). Sebaliknya, yang kedua, proses pembelajaran Fisika
kelas menjadi ‘pengganggu’ ketika materi pelajaran Fisika tidak selaras dengan
latar belakang budaya yang sudah mengakar pada diri siswa, serta guru berusaha
untuk ‘memaksakan’ kebenaran materi pelajaran Fisika (budaya Barat) dengan cara
memarjinalisasikan pengetahuan (budaya) siswa sebelumnya. Proses pembelajaran
seperti ini disebut asimilasi (Cobern dan Aikenhead, 1998; Aikenhead dan
Jegede, 1999). Jika proses pembelajaran inkulturasi meningkatkan cara
pemahaman siswa, sebaliknya proses asimilasi berpotensi menjadikan siswa untuk
mengalami apa yang disebut dengan keterasingan (alienation) terhadap
kebudayaannya sendiri, yang pada gilirannya dapat menimbulkan ‘gangguan sosial’
dalam kehidupan sehari-hari. Jauh sebelumnya, Maddock (1983)
menemukan bahwa pendidikan Fisika di Papua Nugini telah menghasilkan efek
keterasingan pada siswa-siswa sekolahnya, yang telah ‘memisahkan’ mereka dengan
kebudayaan tradisional masyarakatnya. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa
semakin tinggi pendidikan formal seseorang (di Papua Nugini), semakin besar
efek keterasingan yang dialami.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Larson sebagaimana
dikutip oleh Aikenhead dan Jegede (1999) memberikan informasi lain yang
berguna. Ia menemukan bahwa meskipun boleh jadi proses pembelajaran
asimilasi tidak menjadikan siswa terasing dari budayanya, namun tetap saja akan
mengasingkan siswa dari Sains. Keadaan tersebut membawa mereka untuk
kreatif dengan menciptakan cara ‘cerdas’ yang semu dalam mempelajari fisika
(tepatnya menghafal konsep-konsep Fisika) seperti apa yang disebut dengan
‘Aturan Fatimah’ (Fatima’s Rule).
Pengembangan Pembelajaran Fisika Berbasis Budaya
Dalam pengintegrasian nilai budaya
.dalam pembelajaran Fisika Guru harus memperhatikan Saran George. George (1991)
menyarankan kepada para guru untuk memperhatikan empat hal selama membawakan
proses KBM sebagai berikut.
(1) memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya, untuk mengakomodasi konsep-konsep
atau keyakinan yang dimiliki siswa, yang berakar pada sains tradisional.
(2) Menyajikan kepada siswa
contoh-contoh keganjilan atau ‘keajaiban’ (discrepant events) yang
sebenarnya hal biasa menurut konsep-konsep baku sains.
(3) Mendorong siswa untuk aktif
bertanya.
(4) Mendorong siswa untuk membuat
serangkaian skema-skema tentang konsep yang dikembangkan selama proses
KBM.
Berkenaan dengan saran-saran
tersebut, George (1991) lebih lanjut meminta kepada guru untuk memandang
pendidikan sebagai wahana pemberdayaan siswa dalam usahanya menguasai
konsep-konsep, bukan sebagai penggantian pengalaman atau penggusuran
konsep-konsep (sains tradisional) yang sudah tertanam pada diri siswa dengan
konsep-konsep dominasi sains Barat.
Akhirnya pembelajaran Fisika berbasis budaya
mensyaratkan adanya perubahan tradisi pembelajaran yang semula hanya dilakukan
dengan satu metode saja yaitu DECAPA (Dengar, Catatat, Hapal)
menjadi tradisi mengeksplorasi berbagai sumber belajar dalam suatu komunitas
budaya.
Misalnya belajar Fisika sambil memasak, belajar Fisika
dengan menggunakan metode permainan anak-anak, atau mungkin dengan Seni dan musik Tradisional. Bergantung dengan konteks
dan keberagaman sumber belajar yang ada.
Contoh Budaya Daerah Yang dapat dijadikan
Pembelajaran Fisika
a.
Calung (Mempelajari konsep
Bunyi)
b.
Permainan Beklen ( Mempelajari
Konsep Energi, gerak)
c.
Permainan Ketepel (Konsep
Energi)
d.
Permainan Layang-layang (konsep
aerodinamika)
e.
Permainan Kelerang (momentum)
f.
Kecapi Suling (bunyi)
g.
Batok Ngisang (kesetimbangan)
h.
Gatrik (gerak)
Evaluasi Pembelajaran Fisika Berbasis Budaya
Proses evaluasi pembelajarannya. konsep penilaian hasil
belajar pembelajaran Fisika berdasarkan budaya adalah multiple
representations yang berarti hasil belajar siswa dinilai melalui beragam
teknik dan alat ukur, siswa pun mengekspresikan keberhasilannya dalam berbagai
bentuk. Misalnya, banyak siswa yang takut menghadapi tes, tetapi sangat baik
dalam mengarang atau menulis prosa, atau bahkan dalam menggambar kartun/komik.
Siswa diberi kebebasan dalam mengekspresikan hasil
kegiatan belajarnya tersebut. Sebelumnya guru memang harus mengetahui titik
awal ketika belajar dan titik akhir belajar (sehingga perlu adanya pre-test
dan post-test) setiap siswa per individu.
Sementara itu, upaya siswa menunjukkan keberhasilannya
dalam proses penciptaan makna tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara
wujud media. Misalnya dengan poster, puisi, lukisan, komik strip, catatan
harian, laporan ilmiah penelitian pribadi, ukiran, patung, dan lain-lain.
Penilaian selain dilakukan oleh siswa sendiri (self
assessed), juga oleh siswa yang lain (peer) serta guru dengan
berdasarkan beberapa kriteria yang ditentukan oleh guru. Misalnya penilaian
berdasarkan pemahaman konsep (knowledge aquisition) Fisika, pencapaian
dalam keterampilan (nurturant effect) serta penilaian artistik dari
tiap karya (artistic assessement). Guru bersama dengan siswa dapat
menetapkan kesepakatan dan kriteria yang dapat digunakan untuk menilai ragam
perwujudan hasil belajar siswa.
0 comments:
Post a Comment